Sabtu, 13 Februari 2010

Larangan Berhubungan dengan Jin

Oleh: Tim Kajian Manhaj Tarbiyah
Kirim Print

Jin adalah salah satu makhluk ghaib yang telah diciptakan Allah swt untuk beribadah kepada-Nya.

Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. (Adz-dzariyat: 56).

Sebagaimana malaikat, kita tidak dapat mengetahui informasi tentang jin serta alam ghaib lainnya kecuali melalui khabar shadiq (riwayat & informasi yang shahih) dari Rasulullah saw baik melalui Al-Quran maupun Hadits beliau yang shahih. Alasan nya adalah karena kita tidak dapat berhubungan secara fisik dengan alam ghaib dengan hubungan yang melahirkan informasi yang meyakinkan atau pasti.

Katakanlah: “tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah”, dan mereka tidak mengetahui bila (kapan) mereka akan dibangkitkan. (An-Naml: 65)

Dia adalah Tuhan yang mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorang pun tentang yang ghaib itu. Kecuali kepada Rasul yang diridhai-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya. Supaya Dia mengetahui, bahwa sesungguhnya rasul-rasul itu telah menyampaikan risalah-risalah Tuhannya, sedang (sebenarnya) ilmu-Nya meliputi apa yang ada pada mereka, dan Dia menghitung segala sesuatu satu persatu. (Al-Jin: 26-28).

Manusia diperintahkan oleh Allah swt untuk melakukan muamalah (pergaulan) dengan sesama manusia, karena tujuan hubungan sosial adalah untuk melahirkan ketenangan hati, kerja sama yang baik, saling percaya, saling menyayangi dan saling memberi. Semua itu dapat berlangsung dan terwujud dengan baik, karena seorang manusia dapat mendengarkan pembicaraan saudaranya, dapat melihat sosok tubuhnya, berjabatan tangan dengannya, melihatnya gembira sehingga dapat merasakan kegembiraan nya, dan melihatnya bersedih sehingga bisa merasakan kesedihannya.

Allah swt mengetahui fitrah manusia yang cenderung dan merasa tenteram bila bergaul dengan sesama manusia, oleh karena itu, Dia tidak pernah menganjurkan manusia untuk menjalin hubungan dengan makhluk ghaib yang asing bagi manusia. Bahkan Allah swt tidak memerintahkan kita untuk berkomunikasi dengan malaikat sekalipun, padahal semua malaikat adalah makhluk Allah yang taat kepada-Nya. Para nabi dan rasul alahimussalam pun hanya berhubungan dengan malaikat karena perintah Allah swt dalam rangka menerima wahyu, dan amat berat bagi mereka jika malaikat menampakkan wujudnya yang asli di hadapan mereka. Oleh karena itu tidak jarang para malaikat menemui Rasulullah saw dalam wujud manusia sempurna agar lebih mudah bagi Rasulullah saw untuk menerima wahyu.

Tentang ketenteraman hati manusia berhubungan dengan sesama manusia Allah swt berfirman:

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (Ar-Rum: 21).

Makna “dari jenismu sendiri’ adalah dari sesama manusia, bukan jin atau malaikat, atau makhluk lain yang bukan manusia. Karena hubungan dengan makhluk lain, apalagi dalam bentuk pernikahan, tidak akan melahirkan ketenteraman, padahal ketenteraman adalah tujuan utama menjalin hubungan.

Beberapa Informasi tentang Jin dari Al-Quran & Hadits

a. Jin diciptakan dari api dan diciptakan sebelum manusia

Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia (Adam) dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Dan Kami telah menciptakan jin sebelumnya dari api yang sangat panas. (Al-Hijr: 26-27).

خُلِقَتِ الْمَلاَئِكَةُ مِنْ نُورٍ، وَخُلِقَ الْجَانُّ مِنْ مَارِجٍ مِنْ نَارٍ، وَخُلِقَ آدَمُ مِمَّا وُصِفَ لَكُمْ. رواه مسلم

Malaikat telah diciptakan dari cahaya, jin diciptakan dari nyala api, dan Adam diciptakan dari tanah (yang telah dijelaskan kepada kalian). (Muslim)

Perbedaan asal penciptaan ini menyebabkan manusia tidak dapat berhubungan dengan jin, sebagaimana manusia tidak bisa berhubungan dengan malaikat kecuali jika jin atau malaikat menghendakinya. Apabila manusia meminta jin agar bersedia berhubungan dengannya, maka pasti jin tersebut akan mengajukan syarat-syarat tertentu yang berpotensi menyesatkan manusia dari jalan Allah swt.

b. Jin adalah makhluk yang berkembang biak dan berketurunan

Dan (Ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: “Sujudlah kamu kepada Adam, maka sujudlah mereka kecuali Iblis. Dia adalah dari golongan jin, maka ia mendurhakai perintah Tuhannya. Patutkah kamu mengambil dia dan turunan-turunannya sebagai pemimpin selain daripada-Ku, sedang mereka adalah musuhmu? Amat buruklah Iblis itu sebagai pengganti (dari Allah) bagi orang-orang yang zhalim. (Al-Kahfi: 50).

Al-Quran juga menyebutkan bahwa di antara bangsa jin ada kaum laki-laki nya (rijal) sehingga para ulama menyimpulkan berarti ada kaum perempuannya (karena tidak dapat dikatakan laki-laki kalau tidak ada perempuan). Dengan demikian berarti mereka berkembang biak.

Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan. (Al-Jin: 6).

c. Jin dapat melihat manusia sedangkan manusia tidak dapat melihat jin

Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh syaitan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapamu dari surga, ia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya ‘auratnya. Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dan suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan syaitan-syaitan itu pemimpin-pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman. (Al-A’raf: 27).

Hal ini membuat kita tidak dapat berhubungan dengan mereka secara wajar sebagaimana hubungan sesama manusia. Kalau pun terjadi hubungan, maka kita berada pada posisi yang lemah, karena kita tidak dapat melihat mereka dan mereka bisa melihat kita.

d. Bahwa di antara bangsa jin ada yang beriman dan ada pula yang kafir, karena mereka diberikan iradah (kehendak) dan hak memilih seperti manusia.

Dan sesungguhnya di antara kami ada jin yang taat dan ada (pula) jin yang menyimpang dari kebenaran. Barangsiapa yang taat, maka mereka itu benar-benar telah memilih jalan yang lurus. Adapun jin yang menyimpang dari kebenaran, maka mereka menjadi kayu api bagi neraka Jahanam. (Al-Jin (72): 14-15).

Meskipun ada yang muslim, tapi karena jin makhluk ghaib, maka tidak mungkin muncul ketenteraman hati dan kepercayaan penuh bagi kita terhadap keislaman mereka, apakah benar jin yang mengaku muslim jujur dengan pengakuannya atau dusta?! Kalau benar, apakah mereka muslim yang baik atau bukan?! Bahkan kita harus waspada dengan tipu daya mereka.

Berhubungan dengan jin adalah salah satu pintu kerusakan dan berpotensi mendatangkan bahaya besar bagi pelakunya. Potensi bahaya ini dapat kita pahami dari hadits Qudsi di mana Rasulullah saw menyampaikan pesan Allah swt:

وَإِنِّي خَلَقْتُ عِبَادِي حُنَفَاءَ كُلَّهُمْ، وَإِنَّهُمْ أَتَتْهُمْ الشَّيَاطِينُ فَاجْتَالَتْهُمْ عَنْ دِينِهِمْ، وَحَرَّمَتْ عَلَيْهِمْ مَا أَحْلَلْتُ لَهُمْ، وَأَمَرَتْهُمْ أَنْ يُشْرِكُوا بِي مَا لَمْ أُنْزِلْ بِهِ سُلْطَانًا. رواه مسلم

Dan sesungguhnya Aku telah menciptakan hamba-hamba-Ku semua dalam keadaan hanif (lurus), dan sungguh mereka lalu didatangi oleh setan-setan yang menjauhkan mereka dari agama mereka, mengharamkan apa yang telah Aku halalkan, dan memerintahkan mereka untuk menyekutukan-Ku dengan hal-hal yang tidak pernah Aku wahyukan kepada mereka sedikit pun. (Muslim)

Dalil lain tentang larangan berhubungan dengan jin adalah:

Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan. (Al-Jin: 6).

Imam At-Thabari dalam tafsirnya menyebutkan: “Ada penduduk kampung dari bangsa Arab yang menuruni lembah dan menambah dosa mereka dengan meminta perlindungan kepada jin penghuni lembah tersebut, lalu jin itu bertambah berani mengganggu mereka.

Tujuan seorang muslim melakukan hubungan sosial adalah dalam rangka beribadah kepada Allah swt dan berusaha meningkatkannya atau untuk menghindarkan dirinya dari segala hal yang dapat merusak ibadahnya kepada Allah. Melakukan hubungan dengan jin berpotensi merusak penghambaan kita kepada Allah yaitu terjatuh kepada perbuatan syirik seperti yang dijelaskan oleh ayat tersebut. Ketidakmampuan kita melihat mereka dan kemampuan mereka melihat kita berpotensi menjadikan kita berada pada posisi yang lebih lemah, sehingga jin yang kafir atau pendosa sangat mungkin memperdaya kita agar bermaksiat kepada Allah swt.

Bagaimana berhubungan dengan jin yang mengaku muslim? Kita tetap tidak dapat memastikan kebenaran pengakuannya karena kita tidak dapat melihat apalagi menyelidiki nya. Bila jin tersebut muslim sekalipun, bukan menjadi jaminan bahwa ia adalah jin muslim yang baik dan taat kepada Allah.

Di samping itu, tidak ada manusia yang dapat menundukkan jin sepenuhnya (taat sepenuhnya tanpa syarat) selain Nabi Sulaiman as dengan doanya:

Sulaiman berkata: “Ya Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang juapun sesudahku, sesungguhnya Engkaulah yang Maha Pemberi”. (Shad (38): 35).

Maka berhubungan dengan jin tidak mungkin dilakukan kecuali apabila jin itu menghendakinya, dan sering kali ia baru bersedia apabila manusia memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat ini dapat dipastikan secara bertahap akan menggiring manusia jatuh kepada kemaksiatan, bahkan mungkin kemusyrikan dan kekufuran yang mengeluarkannya dari ajaran Islam. Na’udzu billah.

Wallahu a’lam.

Referensi:

1. Silsilah Aqidah oleh Umar Sulaiman Al Asyqar
2. Al ‘Aqaid Al-Islamiyah oleh Abdurrahman Hasan Habannakah
3. Tafsir At-Thabari.

Manajemen Stres Membangun Karakter Tangguh

16/12/2009 | 28 Zulhijjah 1430 H | Hits: 2.073
Oleh: Dr. Setiawan Budi Utomo
Kirim Print

Pemilu, pilpres dan pilkada dapat membawa berkah maupun sebaliknya dapat menyebabkan pilu, baik bagi rakyat maupun kontestan kandidat legislatif, calon kepala daerah maupun calon presiden dan pasangannya. Stres adalah gejala umum yang menghantui para calon legislatif (caleg) dan mantan calon kepala daerah dan calon wapres maupun cawapres yang gagal terpilih. Stres pada tingkatan tertentu dapat mengakibatkan kegilaan dan ketidakwarasan. Hal inilah yang mendorong sejumlah rumah sakit jiwa di pusat dan daerah mempersiapkan ruangan baru untuk menampung korban ambisi jabatan dan pertaruhan politik dengan ketidaksiapan mental menghadapi kekalahan sebagaimana diprediksi banyak pengamat. Mungkin reaksi ataupun antisipasi beberapa rumah sakit jiwa dan para pengamat tersebut terlihat pesimistis, skeptis dan terkesan sinis, namun melihat beberapa pengalaman korban mental kekalahan di beberapa pilkada, bahkan terenggutnya nyawa karena serangan jantung dan bunuh diri akibat kalah pemilu patut mendapatkan perhatian serius dari para kandidat untuk dapat mempersiapkan mental yang kuat dalam menghadapi risiko kekalahan dan gagal terpilih dengan manajemen stres yang baik. Tekanan dan kelapangan jiwa adalah tidak lepas dari manajemen diri dengan kehendak ilahi.

Allah Swt. berfirman: “Bukankah Kami (Allah) telah melapangkan untukmu dadamu? dan Kami telah menghilangkan daripadamu bebanmu, yang memberatkan punggungmu? Dan Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu. Karena sesungguhnya kesulitan itu disertai kemudahan, Sesungguhnya kesulitan itu disertai kemudahan. Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain, dan hanya kepada Rabbmu lah hendaknya kamu berharap”. (QS. Al-Insyirah:1-8).

Sebagai hamba Allah yang secara fitrah memiliki kelebihan dan kekurangan, manusia membutuhkan sejumlah hal baru, kegembiraan dan rangsangan tertentu dalam hidup. Seseorang dapat mengalami berbagai ketidakpastian, kecemasan dan tekanan yang memotivasinya untuk melakukan sesuatu, menjadi berhasil dalam mencapai sejumlah keinginan dan cita-cita. Kemampuan seseorang untuk memusatkan perhatian dan memotivasi diri dapat membantu meningkatkan pencapaian tertentu dan pengembangan diri. Gejala ini disebut eustress yang berarti stres baik yang berdampak positif (awalan eus dalam bahasa Yunani berarti baik) di mana kita mampu mengatasi tuntutan, tantangan dan kondisi tekanan yang kita hadapi sebagaimana dimaksud ayat di atas bahwa kesulitan itu disertai kemudahan.

Namun bila tuntutan-tuntutan tersebut sampai kepada titik di mana seseorang merasakan kegagalan atau kehilangan kemampuan untuk mengatasinya, maka situasi tersebut kemudian dikenal sebagai dystress yang berarti stres buruk yang berdampak negatif (awalan dy berarti buruk). Dalam kondisi demikian seseorang cenderung merasa kewalahan dan kehidupan terasa di luar kendali karena kecemasan berlebihan, rasa takut, kepanikan, kebingungan dan kecenderungan putus asa menghantui dirinya yang justru berakibat kebuntuan, ketumpulan, kemandulan dan kontra produktif. Bukankah Allah mengarahkan hambanya dalam hal ini dengan firman-Nya “dan hanya kepada Rabbmu lah hendaknya kamu berharap” Dialah Yang Maha Kuasa atas segalanya, selalu mengajarkan optimisme kepada manusia untuk tegar, bangkit bergairah penuh harapan akan pertolongan-Nya dan melarang stres yang mengantarkan kepada keputusasaan. (QS. Yusuf: 87, Al-Isra’: 83)

Stres menurut Vincent Cornelli, seorang psikolog ternama merupakan suatu gangguan pada tubuh dan pikiran yang disebabkan oleh perubahan dan tuntutan kehidupan dan dipengaruhi oleh lingkungan maupun penampilan individu dalam lingkungan tersebut. Dan secara spesifik stres merupakan gejala psikologis yang menurut Richard Lazarus, psikolog yang banyak melakukan penelitian tentang stres sebagai sebuah hubungan khusus antara seseorang dengan lingkungannya yang dianggap melampaui kemampuan dan membahayakan kebahagiaan dan kepuasannya. Atau singkatnya merupakan gejala yang timbul akibat kesenjangan (gap) antara realita dan idealita, antara keinginan dan kenyataan, antara tantangan dan kemampuan, antara peluang dan potensi.

Hakikatnya stres merupakan gejala harian yang wajar dan setiap orang pasti mengalaminya dan bukan sesuatu yang harus disembunyikan, tetapi ia tak ubahnya seperti tantangan lainnya yang harus dihadapi dalam hidup. Oleh karena itu stres bukan untuk ditakuti melainkan justru kita harus berani mengatasinya dengan pengelolaan dan pengendalian stres dengan sikap dan mental positif yaitu dihadapi dengan kepala tegak (saya tidak takut menghadapinya), percaya diri (saya bisa mengatasinya); optimisme solusi (apa yang harus saya lakukan terhadapnya); pengendalian (saya akan mengendalikannya), penerimaan (stres memang bagian hidup yang alamiah), perencanaan (bagaimana saya akan mengatasinya), dan dengan bantuan pihak lain jika memang diperlukan.

Menurut sebuah penelitian dari data faktual menunjukkan hampir mayoritas orang tidak tahu bagaimana menangani stres padahal bila dikelola dengan baik dapat menjadi motivator dan energi hidup, namun stres yang berlebihan juga berpotensi melemahkan yang mana pada tahap tertentu dapat menurunkan efektivitas kekebalan tubuh dan kerentanan terhadap penyakit ringan seperti flu dan infeksi di samping dapat menjadi penyebab tekanan darah tinggi, sakit kepala, diare, gangguan pada pencernaan dan pembuangan serta kelainan dan penyakit lainnya yang sering disebut sebagai gejala Phsycomatis. Kita sendiri sepenuhnya bertanggung jawab terhadap bagaimana stres mempengaruhi diri sebagaimana dimaklumi bahwa jika aspek-aspek kehidupan tidak ditangani dengan manajemen yang baik, maka akan mudah mengalami gejala-gejala stres.

Dalam manajemen stres gejala-gejala stres sangat penting pada tahap pertama untuk dapat disadari dan dilakukan identifikasi sedini mungkin sebelum terlambat yaitu dapat kita lakukan dalam daftar periksa dengan memakai peringkat mulai dari tidak pernah sama sekali; kadang-kadang; cukup sering; sangat sering; terus menerus secara konstan. Pemeriksaan tersebut menurut para psikolog biasanya mencakup aspek:

1. Perilaku/tindakan (menurunnya kegairahan/bete, pemakaian obat penenang, atau minuman penambah vitalitas yang berlebihan, meningkatnya konsumsi kopi, kekerasan atau tindakan agresif pada keluarga atau lainnya, gangguan pada kebiasaan makan, gangguan tidur (insomnia), problem seksual, kecenderungan menyendiri, membolos, tidak waspada)

2. Proses Sikap/Pikiran (pemikiran irasional dan kesimpulan bodoh, lamban dalam pengambilan keputusan ataupun kesimpulan, kecenderungan lupa dan penurunan daya ingat (amnesia), kesulitan berkonsentrasi, kehilangan perspektif, berfikir vatalis, negatif, apatis, cuek dan serba skeptis, menyalahkan diri, pikiran selalu was-was dan perasaan kacau, bingung, dan putus asa.)

3. Emosi/perasaan (cepat marah dan murung, cemas/takut/panik, emosional dan sentimentil berlebihan, tertawa gelisah, merasa tak berdaya, selalu mengkritik diri sendiri dan orang lain secara berlebihan, pasif, depresi/sedih berkepanjangan atau sangat mendalam dan merasa diabaikan)

4. Fisik/fisiologis (sakit kepala dan sakit lainnya pada kepala, leher, dada, punggung dan lain-lain, jantung berdebar, diare/konstipasi/gangguan buang air besar, gatal-gatal, nyeri pada rahang dan gigi gemertak, kerongkongan kering, pusing kepala, sering buang air kecil dan perubahan pola makan, badan berkeringat tidak wajar)

Setelah itu sangat penting itu ditelusuri dan dideteksi faktor-faktor penyebab stres untuk dapat mengendalikan stres dan mempertahankannya hanya pada tingkat yang dapat merangsang dan memotivasi, bukan merugikan. Faktor-faktor penyebab stres dapat kita temukan pada sumber-sumber stres yang meliputi pekerjaan, anak-anak, keluarga, kesehatan, keuangan, kesenangan dan kemasyarakatan. Lebih kongkretnya, bidang-bidang kehidupan yang menjadi sumber utama penyebab stres potensial dapat kita deteksi sebagai berikut:

1. Kerja/belajar/tugas-tugas rumah tangga (cenderung tidak punya waktu, terlalu banyak ataupun sedikit yang harus dilakukan, terlalu banyak tugas dan terlalu sedikit pengendalian, tidak mendapatkan ucapan terima kasih atau dihargai, tidak menyukai atasan, bawahan ataupun rekan kerja, tidak punya cukup keterampilan untuk menyelesaikan pekerjaan, kurang tantangan atau kebanyakan, tidak ada tujuan dari apa yang dilakukan, menyangsikan apakah sesuatu yang dijalani merupakan keinginan, terpaku pada pola perfeksionis yang berlebihan dan kaku).

2. Keluarga (Merasa tidak punya keluarga dekat, merasa terbuang atau tersisihkan dari keluarga, merasa keluarga menyita banyak waktu, terlalu banyak tanggungan keluarga, jarang memiliki suasana kebersamaan keluarga, anggota keluarga sakit, lokasi tinggal tidak ideal, kekerasan mewarnai keluarga, keuangan keluarga memprihatinkan, kekhawatiran terhadap keluarga)

3. Masyarakat/teman/komunitas (tidak cukup banyak teman, kurang bergaul dan sosialisasi, tidak memiliki teman dekat yang dapat dipercaya dan tempat curhat)

4. Karakter personal/kepribadian (tipe selalu gelisah, tertekan, khawatir dan merasa tidak aman/terancam, tidak melatih dan mengelola diri secara teratur, merasa tidak memiliki fisik dan kondisi kejiwaan yang baik, sulit tertawa dan kurang rasa humor, tidak menyukai diri sendiri, kurang keseimbangan diri, cenderung agak sinis, pesimis, dan menginginkan yang terburuk, sulit termotivasi dan sebagainya)

Mengkaji sumber potensial stres dan berbagai gejalanya dapat menyadarkan kita pentingnya pengendalian stres yang pada gilirannya akan memunculkan pertanyaan apakah stres memang dapat dikendalikan? Persoalan yang sesungguhnya adalah apakah kita mau atau tidak menjadi pengendali stres yang efektif dengan memiliki peran kepemilikan dan pengendalian terhadap stres dan membuang jauh-jauh mental kalah dan cenderung pasif memilih peran korban stres. Padahal banyak hal yang dapat kita lakukan untuk penyembuhan diri, pengembangan diri dan pertolongan diri serta make up diri dari dalam yang lebih menjanjikan kebahagiaan dan mengantarkan kita kepada kesehatan rohani serta menjadi insan berkarakter shalih dengan terapi mental secara ketat, pelatihan diri secara keras dan penumbuhan motivasi mandiri.

Nabi SAW sebagai figur teladan dan sosok manusia berjiwa besar saja dalam rangka pengendalian stres sampai berjuang keras melalui doa sekaligus evaluasi harian setiap pagi dan sore yang berlindung kepada Allah dan selalu mawas dari delapan pangkal penyakit mental yang sumber stres yakni; obsesi/pikiran yang mengganggu (hamm) dan kesedihan (huzn), ketidakberdayaan (‘ajz) dan kemalasan/ kurang motivasi (kasal), kekikiran (bukhl) dan ketakutan (jubn), problem keuangan (ghalabat dain) dan tekanan orang lain (qohrir rijal).

Manajemen stres dengan metode pengembangan karakter efektif dapat dilakukan melalui pengendalian stres secara efektif dari ajaran Nabi tersebut yang dapat dipetik di antaranya berupa pembebasan diri dari pikiran yang mengganggu (hamm) dengan merubah pola berfikir irasional dengan berfikir rasional dan mengefisienkan sikap mental yang boros atau menguras emosi dan energi. Agar dapat efisien, kita harus berusaha melatih agar sikap dan mental kita bersifat Fleksibel yaitu tidak hanya menggunakan satu sudut pandang saja dalam melihat berbagai kejadian dan peristiwa, Adaptif (terbuka secara selektif), Rasional (gabungan argumentatif antara realisme dan idealisme), Positif (itikad, niat dan tekad kuat dan baik disertai keyakinan) dan berorientasi Solusi (tidak suka meratap dan mengeluh tetapi mencari jalan keluar yang terbaik). Sikap mental yang efisien ini dikenalkan ahli psikologi dalam manajemen kepribadian dengan sikap FARPS.

Beberapa cara berfikir yang menyimpang harus diluruskan untuk mengendalikan stres di antaranya;

- Filter (melihat dunia dengan kacamata kuda yang gelap dan satu sudut yang cenderung membesar-besarkan hal yang negatif dari sebuah situasi dan mengabaikan sisi positif ataupun hikmahnya),

- Generalasi yang tidak proporsional dengan cepat menyimpulkan pukul rata secara umum tanpa merinci,

- Fatalis yang melihat peristiwa dengan nuansa kiamat dan malapetaka,

- Emosional, merasa selalu benar, menyalahkan pihak lain dan diri sendiri tanpa bertanggung jawab, selalu mengukur dengan kacamata seharusnya dan semestinya seperti “kamu harus memahami saya, mengerti posisi saya”, “semestinya ia bersikap baik terhadap saya”,

- Sindrom Martir (pengorbanan) dengan harapan segala pengorbanan mendapatkan balasan, namun ketika tidak mendapatkan akan merasa kecewa dan menderita. Oleh karena itu Allah melarang kita untuk mengharapkan sesuatu timbal balik yang bersifat duniawi dari jasa, pengorbanan dan kebaikan kita dalam bentuk apapun agar tidak stres (QS.Al-Mudatsir:6)

Ada sepuluh keyakinan rasional yang dapat kita rumuskan dengan mengacu kepada nilai-nilai Islam untuk mengatasi 10 keyakinan irasional yang ditemukan oleh Dr. Albert Ellis, psikolog kondang Amerika yang terkenal dengan terapi emotif rasionalnya yaitu;

1. Saya harus dicintai dan disukai oleh orang-orang yang penting dalam hidup saya. Jika tidak demikian, saya mungkin akan merasa kecewa, tetapi saya dapat mengatasinya. Saya akan melakukan yang terbaik untuk mengembangkan dan mempertahankan tali cinta kasih, persahabatan serta hubungan baik.

2. Orang-orang yang ingin serba sempurna (perfeksionis) biasanya mempunyai kadar stres yang sangat tinggi, dan ini sama sekali tidak perlu. Sebab kita hanya perlu berusaha berbuat yang sebaik-baiknya semampu kita dan Allah akan menilai usaha kita secara sungguh-sungguh dan ikhlas.

3. Menghukum dan menyalahkan diri sendiri tidak akan cukup menyelesaikan masalah, melainkan harus memulai bertindak yang lebih konstruktif dan perbaikan yang berarti.

4. Berbuat yang terbaik bagi hidup dengan kesiapan mental untuk menerima kegagalan yang merupakan sunnatullah dan merupakan konsekuensi iman kepada takdir dengan penuh tawakal

5. Problem dapat muncul dari peristiwa di luar kontrol dan tak terelakkan, tetapi reaksi dan interpretasi terhadap peristiwa tersebut yang harus dikendalikan secara benar, positif dan konstruktif.

6. Kekhawatiran memang diperlukan namun tidak boleh membawa kepada kondisi yang merenggut banyak pikiran dan emosi sehingga menekan jiwa

7. Tekanan dalam hidup tidak dapat dihindarkan melainkan yang harus dicari adalah jalan keluar (solusi) dari situasi sulit dan menekan.

8. Percaya diri dan bergantung pada diri sendiri memang harus dibangun tetapi harus dibarengi dengan keyakinan pada kekuatan ilahi dan kesiapan mental untuk membutuhkan bantuan orang lain.

9. Ada beberapa problem yang sejak lama memang telah ada namun sikap yang harus dibangun adalah tidak boleh pasrah menyerah, melainkan tetap berfikir ke depan untuk memperbaiki dan mengatasinya.

10. Sikap emosional, sentimentil, afektif dan empatif terhadap orang lain tidak boleh menenggelamkan kita dalam kesedihan berlebihan yang menambah mudarat melainkan harus dibalikkan menjadi sebuah motivasi untuk memberikan manfaat dan bantuan kepada orang yang kita beri simpati.

Beberapa panduan ruhiyah dapat menjadi obat dan terapi yang cukup efektif untuk pengendalian stres di antaranya; perbanyakan shalat sunnah dengan khusyu’, menghayati dan mengambil wisdom asmaul husna (nama-nama mulia Allah), merawat kondisi bersuci, tadabbur al-Qur’an, kisah-kisah teladan dan success stories yang pernah terjadi setelah mengalami kegagalan, relaksasi jiwa dan kontemplasi dengan dzikir bebas dan tafakkur yang dapat dilakukan pula dengan pengolahan pernafasan, rekreasi, olahraga, manajemen istirahat yang baik, canda dan humor yang sehat, membaca buku dan ngobrol yang bermanfaat. Semuanya ini pernah dilakukan bahkan dianjurkan oleh Rasulullah saw.

Seorang yang berkepribadian shalih bukan yang tidak punya masalah dan tidak menghadapi atau lari dari stres dan masalah, melainkan orang yang justru mampu menghadapi masalah tanpa bermasalah baru dan mengatasi stres dengan baik, sebab segala peristiwa hidup merupakan ujian iman untuk menempa karakter manusia yang harus dihadapi sebagai bahan peningkatan kualitas diri dan bukan untuk dihindari. (QS. Al-Mulk: 2, Al-Ma’arij: 19)

Wallahu A’lam wa Billahit taufiq wal Hidayah. []

album